Pada awal abad ke-20, Asia Tengah menjadi panggung bagi intrik geopolitik yang melibatkan berbagai kekuatan besar. Salah satu episode menarik dalam sejarah ini adalah upaya Jepang untuk membangkitkan kembali Kekaisaran Ottoman di wilayah yang kini dikenal sebagai Xinjiang, Tiongkok. Rencana ini tidak hanya mencerminkan ambisi Jepang, tetapi juga dinamika politik antara Jepang, Ottoman, dan kekuatan Eropa. Mirip dengan upaya AS mengobok-obok Timur Tengah dengan proyek 'hornet nest' ISIS-nya di Irak sebelum keluar dairi Irak.
Pada akhir abad ke-19, wilayah Turkistan, yang terbagi menjadi Turkistan Timur dan Barat, mengalami ketidakstabilan akibat penindasan oleh Kekaisaran Rusia, Dinasti Qing, dan Uni Soviet. Pemberontakan Dungan (1862–1877) di Turkistan Timur menghasilkan pendirian negara Islam Sunni Kashgaria yang dipimpin oleh Yaqub Beg. Negara ini mendapat dukungan dari Kekaisaran Ottoman dan Inggris, meskipun dengan kepentingan strategis yang berbeda. Ottoman melihatnya sebagai solidaritas etnis dan agama, sementara Inggris berusaha membendung ekspansi Rusia ke arah India.
Namun, Kashgaria akhirnya ditaklukkan kembali oleh Tiongkok. Di Turkistan Barat, perlawanan bersenjata terhadap Bolshevik/Soviet dikenal dengan nama Gerakan Basmachi, yang melibatkan tokoh-tokoh dari Ottoman, seperti Enver Pasha. Meskipun demikian, gerakan ini tidak berhasil mengalahkan kekuatan Soviet.
Pada tahun 1933, di tengah kekacauan yang melanda Turkistan Timur, suku-suku Uyghur dan Turkik mendeklarasikan negara merdeka bernama Republik Islam Turkistan Timur. Negara ini muncul sebagai hasil dari Pemberontakan Kumul (1931–1934), yang merupakan bagian dari upaya untuk memperoleh kemerdekaan dari dominasi Tiongkok.
Dalam konteks ini, Jepang melihat peluang untuk menerapkan kebijakan Pan-Asia dan menyelaraskannya dengan gerakan Pan-Turkisme. Jepang berusaha membangkitkan kembali Kekaisaran Ottoman dengan mendukung pembentukan negara Turkistan yang dipimpin oleh seorang pangeran Ottoman. Muhammad Abd al-Hay Qurban Ali, seorang tokoh agama dan politik Turkik di Jepang, mengusulkan kepada Jepang untuk mendukung Uyghur dan mengangkat Pangeran Muhammad Abdul Kerim, cucu Sultan Ottoman Abdul Hamid II, sebagai Sultan/Khalifah di Turkistan Timur yang telah dibebaskan.
Pangeran Abdul Kerim mengunjungi Tokyo pada Mei 1933 dan disambut secara resmi sebagai pewaris takhta Ottoman dan pemimpin masa depan Turkistan. Kunjungan ini menunjukkan keseriusan Jepang dalam mendukung rencana tersebut. Namun, rencana ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan Uni Soviet dan Turki. Uni Soviet khawatir bahwa pembentukan negara Islam-Turkik-Ottoman yang besar di perbatasan mereka akan memicu perlawanan lebih lanjut, sementara Turki di bawah Mustafa Kemal Atatürk khawatir akan kebangkitan kembali sistem Khilafah yang telah dihapus.
Pada Agustus 1935, Pangeran Abdul Kerim ditemukan meninggal di kamar hotelnya di New York. Meskipun secara resmi dinyatakan sebagai bunuh diri, banyak kerabat dan peneliti meragukan klaim tersebut dan menduga adanya pembunuhan. Beberapa pihak menduga bahwa badan intelijen Soviet dan Turki bekerja sama untuk menyabotase rencana tersebut.
Setelah Republik Turkistan Timur dihancurkan pada tahun 1934, Jepang terlibat dalam perang di Tiongkok dan dikalahkan oleh Soviet dalam konflik perbatasan Khalkhin Gol pada tahun 1939. Fokus ekspansi Jepang kemudian beralih ke selatan, dan rencana untuk mendirikan Kekaisaran Turkistan yang dipimpin Ottoman pun gagal.
Upaya Jepang untuk mendirikan Kekaisaran Ottoman di Asia Tengah mencerminkan ambisi geopolitik yang kompleks dan intrik internasional pada awal abad ke-20. Meskipun rencana tersebut tidak berhasil, peristiwa ini tetap menjadi bagian penting dalam sejarah hubungan internasional dan dinamika politik di Asia Tengah.
0 Komentar