ilustrasi |
Beberapa tahun sebelum misi Kopassus di Papua, pada 1961, temuan sebuah potongan kaki menggegerkan dunia.
Potongan kaki itu milik putra raja minyak AS super kaya, Michael Rockfeller.
Dia melakukan ekspedisi ke pedalaman Papua Nugini, namun hilang.
Sekira dua bulan kemudian, setelah upaya pencarian, jasad Michael Rockfeller hanya ditemukan berupa sepotong kaki yang masih mengenakan sepatu.
Setelah penelitian, berdasar jenis sepatu, potongan kaki tersebut dikenali sebagai jasad dari mendiang Rockfeller.
Kabar kematian Rockfeller, yang keluarga miliarder, dengan cara yang sangat tragis itu menjadi perhatian dunia internasional. Termasuk rumor bahwa Michael Rockfeller telah dimakan suku terasing yang tinggal di hutan belantara Papua Nugini.
Rumor keberadaan suku pemakan manusia tidak hanya beredar di Papua Nugini, tapi juga menyebar ke kawasan pedalaman Irian Barat (Papua), yang pada 1960-an masih merupakan hutan lebat yang belum terjamah.
Beberapa tahun setelah peristiwa itu terjadi, Kopassus dikirim ke hutan belantara Papua.
Pada waktu itu, hutan Papua masih sangat liar dan berisiko untuk didatangi, termasuk RPKAD (sekarang Kopassus) sekalipun.
RPKAD menelusuri hutan
Pada 5 Mei 1969, meski rumor tentang keberadaan suku pemakan manusia di pedalaman Papua masih santer, dilakukan misi ke sana.
Ada tujuh anggota RPKAD, lima anggota Kodam XVII Cenderawasih Papua dan tiga warga asing yang juga kru televisi NBC, AS serta satu wartawan TVRI, Hendro Subroto.
Mereka melaksanakan ekspedisi ke Lembah X, lokasinya di lereng utara Gunung Jayawijaya.
Tim ekspedisi berjumlah 16 orang itu dipimpin personel RPKAD Kapten Feisal Tanjung, sebagai Komandan Tim, dan Lettu Sintong Panjaitan sebagai Perwira Operasi.
Lembah X berpemandangan indah, sekaligus merupakan tempat yang belum pernah dijamah manusia dari luar.
Suku setempat masih dikenal sebagai suku yang sangat terasing. Dimungkinkan, itu merupakan suku yang masih memakan manusia seperti yang dialami Rockfeller. Tapi dugaan itu belum ada bukti.
Dengan risiko yang tinggi itu, pengendali ekspedisi Pangdam XVII/Cenderawasih, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo, berpesan agar tim siap menghadapi kemungkinan terburuk.
Dalam menjalankan ekspedisi, semua anggota militer mengenakan seragam militer lengkap, bersenjata senapan serbu AK-47 dan pistol, parang, tali-temali dan lainnya.
Sebelum tim ekspedisi Lembah X diterjunkan melalui udara, Lettu Sintong terlebih dahulu melakukan orientasi medan melalui udara. Sintong melakukan itu dengan cara menumpang pesawat misionaris jenis Cesna.
Lalu sesuai rencana, tim akan diterjunkan pada lokasi padang ilalang yang berdekatan dengan perkampungan yang diduga masih dihuni oleh suku terasing pemakan manusia.
Pendaratan nyasar
Pada 2 Oktober 1969, semua tim bersama keperluan logistik diterjunkan sesuai rencana meski dengan perasaan tak karuan. Pasalnya, mereka harus mendarat di daerah sangat terpencil yang konon didiami suku terasing yang masih suka memakan manusia.
Dengan perhitungan seperti itu, maka aksi penerjunan termasuk misi nekat.
Meski bersenjata lengkap, para personel RPKAD dan Kodam Cenderawasih dilarang melepaskan tembakan kecuali dalam kondisi sangat terpaksa.
Itu pun merupakan tembakan yang dilepaskan ke atas untuk tujuan menakut-nakuti. Semua tim akhirnya bisa melakukan penerjunan dengan selamat.
Tapi, Lettu Sintong yang seharusnya mendarat di padang ilalang yang jauh dari perkampungan suku terasing, justru mendarat di tengah kampung.
Dia langsung dikepung oleh warga yang hanya mengenakan koteka sambil mengacungkan tombak, panah dan kapak batu.
Sadar sedang menghadapi bahaya dan masih terbayang oleh suku ganas pemakan manusia, secara reflek Sintong memindahkan posisi senapan AK-47 di bahu ke posisi di depan dada serta mengokangnya.
Tapi Sintong terkejut ketika melihat senapan AK-47-nya ternyata tanpa magazin karena terjatuh saat terjun.
Dengan kondisi senapan AK-47 tanpa peluru, jelas sama sekali tidak berguna jika harus menghadapi warga suku terasing yang terus memandanginya secara curiga sambil mengacungkan semua senjata tradisional itu.
Tiba-tiba, Sintong melihat magazin tempat peluru yang jatuh itu berada di antara warga suku. Magazin itu sedang ditendang-tendang seorang pemuda yang mungkin merasa bingung dengan benda asing itu.
Di luar dugaan, pemuda itu mengambil magazin dan memberikannya kepada Sintong. Sebuah pertanda bahwa warga suku itu ingin bersahabat.
Sintong akhirnya membiarkan saja ketika sejumlah warga suku menyentuhnya, lalu memeganginya. Warga suku melakukan itu untuk memastikan bahwa ‘manusia burung’ yang jatuh dari langit itu masih hidup dan merupakan manusia seperti mereka.
Waswas manusia pemakan daging
Meski diliputi oleh perasaan waswas dan awalnya merasa akan diserang dan ‘dimakan’, semua tim ekspedisi ternyata diperlakukan secara bersahabat dan kemudian bisa berinteraksi secara normal dengan suku terasing itu.
Sebagai suku terasing dan menggunakan bahasa yang saat itu tidak bisa dipahami, semua anggota tim ekspedisi pun harus belajar keras memahami bahasa setempat dengan cara mencatatnya.
Seperti diduga, meski bukan merupakan suku kanibal, suku terasing di Lembah X masih sangat primitif dan sama sekali. Suku itu belum mengenal korek api, cermin, pisau, pakaian, apalagi kamera televisi yang bisa merekam mereka.
Warga suku Lembah X juga masih lari tunggang langgang setiap ada pesawat lewat atau sedang melaksanakan dropping logistik. Mereka mengira sebagai burung raksasa yang akan menyambarnya.
Semua warga suku juga takut air dan tidak pernah mandi dan untuk minum. Mereka mengandalkan tanaman tebu liar.
Kebiasaan memakan tebu itu secara tidak sengaja sekaligus berfungsi sebagai sikat gigi, sehingga semua warga suku giginya tampak putih bersih.
Kehilangan film di jeram berbahaya
Meski sempat mengalami musibah ketika sejumlah perahu karet yang ditumpanginya terbalik di jeram dan tim NBC kehilangan rekaman film yang sangat berharga, semua tim ekspedisi bisa pulang selamat pada akhir Desember 1969.
Bagi anggota RPKAD dan Kodam Cenderawasih ekspedisi Lembah X terbilang sukses, karena menginspirasi ekspedisi berikutnya yang kemudian dikenal sebagai Ekspedisi Nusantara Jaya.
Tapi bagi kru NBC, ekspedisi itu gagal total karena telah kehilangan semua rekaman yang bernilai jutaan dollar.
Tulisan ini diambil dari sumber: Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, 2009. (sumber)
0 Komentar