ilustrasi |
NGABALIN NEWS -- Spirit Sultan Nuku dan Membangun Kekuatan Maritim Nusantara
Sultan Nuku Muhammad Amiruddin adalah putra Sultan Jamaluddin yang memerintah Kesultanan Tidore pada 1757–1779 merupakan salah satu Pahlawan Nasional kita, Pejuang yang tak terkalahkan oleh Penjajah Belanda maupun Inggris. Selama 25 tahun di laga pertempuran khususnya di laut, menerebos blokade hingga mengendalikan laut serta menghancurkan lawan.
Malam itu ba’da Isak berkunjung ke kediaman Sultan Tidore, selesai jamuan makan malam sambil mkn kue dan singkong goreng beliau mulai memberi wejangan kepada saya. Suatu ketika diselat antara pulau rote dan mare, kekuatan laut Sultan Nuku dan pasukannya yang dikenal dengan Kora-kora di dikepung oleh Armada Belanda yang dibantu oleh Inggris. Bila melihat kondisi geografis pertempuran laut ini, secara matematis baik jumlah armada maupun persenjataannya, tidak membutuhkan hitungan jam kekuatan AL Belanda maupun Inggris utk menghancurkan dan menenggelamkan kekuatan Armada Nuku.
Adalah Muhammat ja’far pengikut setia sekaligus prajurit andalan sultan nuku, berkomat kamit mulutnya diatas geladak kapal sultan nuku seraya tangan dan kepalanya menengadah keatas menyerahkan segalanya kepada kekuasaan Allah SWT. Dalam waktu 15 menit wilayah pertempuran laut itu mendadak gelap gulita laksana malam yang pekat, bintang aries dan rigelpun sudah tak nampak diufuk tenggara, di sertai riak-riak asap ombak tipis menebal mengisyaratkan datangnya badai dari arah lautan lepas.
Saat peristiwa tersebut terjadi, mengingatkan kepada setiap rakyat Tidore untuk selalu melaksanakan pesan leluhurnya atau borero gosima, bahwa pesan tersebut adalah *Madofolo dzikrullah madarifa papa se tete* artinya hendaklah kita senantiasa menjunjung dzikrullah dan bersamaan bersandar pada kekuatan leluhur”. Awanpun hilang lenyap dihapus oleh sinar matahari disaat merpass, dan sudah pasti kedua Armada perang tersebut siap memuntahkan dan menyalakkan meriam kapalnya masing-masing.
Mendadak kekuatan Armada Kekuatan AL inggris kebingungan mencari sasaran tembaknya, Kapal yang di Nakhodai Sultan Nuku ternyata telah selamat dan berada di perairan papua utara. Armada Kora-kora yang dipimpin Nuku kemudian dapat menghancurkan armada Belanda yang dibantu Inggris, sehingga Tidore tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18. Atas keberhasilan dan kegigihannya dalam bertempur mengusir Belanda Sultan Nuku diberi gelar Lord of Fourtune oleh Inggris.
Kisah keberhasilan Armada Kora-kora tersebut adalah jauh sebelum pemikir pemikir perang laut Clauswitz maupun Corbet, Bahkan AT Mahan sampe dengan Geofrey till sekalipun diabad 21, Leluhur kita telah memiliki strategi perang laut, Bagaimana Command of the sea, bagaimana melaksanakan Blockcade maupun Fleet ini being, puluhan bahkan hampir seluruhnya kerajaan-kerajaan maritim Nusantara telah melaksanakan pertempuran laut dengan teori-teori dasar dalam strategi maritim pada tiap pertempuran.
Aroma kebesaran kerajaan tersebut masih terasa ketika kita menginjakkan kaki di bumi *The Magic Island*. Pesan-pesan yg disampaikan oleh Sultan Husein Syah mampu menembus leluhur puluhan hingga ratusan silam sebagai energi penggerak untuk membangun dan memakmurkan rakyat dengan senantiasa menghormati para leluhur.
Sultan juga menceritakan kepada kita bahwa nama papua berasal dari kata papo ua yang artinya tidak terjangkau bukan papa ua artinya tidak memiliki bapak. Tidak terjangkau memiliki makna bahwa penamaan tersebut dari kesultanan tidore karena wilayahnya jauh dan tidak terjangkau dari Tidore. Oleh karenanya wilayah Indonesia secara historis yang merupakan bagian dari *Chain of Island* tdk akan pernah bisa untuk dipisahkan dr NKRI.
Saya berharap dan menyampaikan kepada Sultan Tidore serta pemuda dan para mahasiswa. Bahwa tempat ini lah bagian dari The Light from the East Untuk membangun Kekuatan Maritim kita saat ini. Selanjutnya Sultan mempersilahkan kita untuk ke belakang kedaton menyaksikan atraksi Debus kesenian tradisional yg masih terawat sejak masuknya Agama Islam di Tidore. Terima Kasih Sultan, terima kasih rakyat Tidore yg telah melestarikan budaya ini.
Oleh: Mbah Salim / Kolonel Laut (P) Salim
NB: Ditulis di atas Pesawat Saat Perjalanan pulang Tidore – Jakarta, 24 November 2017 (sumber)
Baca juga:
500 Tahun Islam di Papua: Dari Raja Ampat Hingga Sultan Papua
GEMA Takbir mengumandangkan kebesaran Allah di nusantara ternyata meluas, bahkan hingga ke Papua. Lautan luas, diterabas, ombak diterjang oleh Muslim untuk menyiarkan Islam ke penjuru nusantara. Di bumi Papua, kita dapat merasakan kehadiran dakwah Islam, bahkan sejak lima ratus tahun yang lalu.
Papua sendiri telah dikenal sejak lama. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, Papua disebut Janggi. Pelaut Portugis yang pernah singgah di Papua tahun 1526-1527 menyebutnya ‘Papua.’ Namun ada pula yang menyebutnya Isla de Oro (Island of Gold). Kemiripan fisik orang Papua dengan orang Afrika membuat pelaut Spanyol menyebutnya ‘Nieuw Guinea’, merujuk pada wilayah Guinea di Afrika Barat.[Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua. Disertasi tidak diterbitkan, Toni Victor M, Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 2008.]
Papua, mungkin juga berasal dari bahasa Melayu, pua-pua, yang berarti keriting. Istilah ini dipakai oleh William Mardsen tahun 1812, dan terdapat dalam salah satu kamus bahasa Melayu -Belanda karya Von der Wall tahun 1880, dengan kata ‘Papoewah’ yang berarti orang yang berambut keriting.[On the Origin of the Name Papua, J Sollewijn Gelpke. 1993BKI Vol 149 No: 2.Leiden]
Istilah Papua sendiri tampaknya berasal dari bahasa Tidore, Papo Ua, yang berarti tidak bergabung atau tidak bersatu. Maksudnya adalah wilayah luas dan tanah besar itu (Papua) tidak termasuk ke dalam induk kesultanan Tidore.
Berbagai sebutan untuk Papua menyiratkan pada kita, akan keragaman bangsa yang berinteraksi dengan orang-orang Papua. Salah satu bangsa yang diketahui berhubungan dagang dengan orang-orang Papua adalah pedagang Cina. Pertukaran barang seperti porselin dan tembikar terjadi diantara mereka. Bahkan di kalangan masyarakat Seruni, terdapat keturunan Cina. Hubungan lain tercipta antara Kerajaan Majapahit dengan orang-orang Papua. Terutama dengan penduduk Papua di Onin (Wwanin), Fakfak. Hubungan ini diketahui dari Syair Negarakertagama karya Empu Prapanca (1365M), dalam sebuah bait syair disebutkan kata Wwanin (Onin, Fakfak) dan Sran (Kowiai atau Kaimana).
Tak hanya dengan bangsa di Asia, para penjelajah Eropa juga telah mengunjungi Papua sejak abad ke 16. Tahun 1526, misalnya, Gubernur Portugal pertama di Maluku bernama Jorge de Menesez mengunjungi Pulau Waigeo (Raja Ampat). Tahun 1545, Kapten Ynigo Ortiz de Retez dari Spanyol mencapai sekitar Sarmi, di muara Sungai Mamberamo. Ia kemudian memberi nama pulau itu (Papua) Nueva Guinea.
Hubungan orang Papua, yaitu Raja Waigeo dengan orang Portugis bisa ditelusuri dari catatan perjalanan Miguel Roxo de Brito, yang menjelajah ke Raja Ampat tahun 1581. Dari catatan De Brito, tampaknya dapat kita simpulkan Raja Waigeo telah memeluk agama Islam.[ The Report of Miguel Roxo de Brito in His Voyage in 1581-1582 To the Raja Ampat, the MacClur Gulf and Seram, JHF Sollewijn Gelpke, BKI Vol 150 No: 1 Leiden, 1994]
Kontak-kontak orang-orang Papua dengan berbagai pihak tersebut biasanya sebatas perdagangan. Namun kontak orang-orang Papua dengan Muslimlah yang kemudian memberikan dampak yang berbeda. Kontak orang-orang Papua dengan Muslim tak hanya terbatas pada soal perdagangan, namun juga perubahan hidup mereka dengan memeluk Islam.
Syiar Islam di Bumi Papua terjadi terutama terkonsentrasi di wilayah Papua Barat, mulai dari Raja Ampat hingga Fakfak. Ada beberapa versi mengenai masuknya Islam di Papua. Kebanyakan sumber sejarah masuknya Islam di Papua berdasarkan sumber-sumber lisan masyarakat setempat. Versi Papua, misalnya, berdasarkan legenda di masyarakat setempat, khususnya di Fakfak. Versi ini menyebut Islam bukanlah dibawa dari luar seperti Tidore atau pedaganh Muslim, tetapi Papua sudah Islam sejak Pulau Papua diciptakan oleh Allah. Versi ini tentu saja tidak bisa diterima, namun secara tersirat versi ini menandakan Islam di Papua telah menjadi kepercayaan yang menyatu dengan masyarakat setempat.
Versi lain adalah versi Aceh. Versi ini berdasarkan sejarah lisan dari daerah Kokas (Fakfak) yang menyebutkan Syekh Abdurrauf dari Kesultanan Samudera Pasai mengirim Tuan Syekh Iskandar Syah untuk berdakwah di Nuu War (Papua) tahun 1224. Syekh Iskandar kala itu membawa beberapa kitab yakni mushaf Al Qur’an, kitab hadits, kitab tauhid dan kitab kumpulan doa. Ada pula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip daun lontara. Beberapa manuskrip tersebut diyakini selamat hingga saat ini. Namun versi ini perlu dipertimbangkan kembali, mengingat btu nisan Sultan pertama Pasai, Malik As Shalih di Pasai berangka tahun 1297M. Artinya, abad ke 13 adalah masa-masa awal Kesultanan Samudera Pasai. Dakwah Kesultanan Samudera Pasai saat itu (abad ke 13) sepertinya masih terkonsentrasi di Sumatera, mengingat saat itu, wilayah-wilayah lain di Sumatera pun belum sepenuhnya memeluk Islam. Manuskrip warisan yang disimpan hingga kini, akan lebih baik jika diteliti secara filologi.
Menurut tradisi lisan lain di Fakfak, Islam disebarkan oleh mubaligh bernama Abdul Ghafar asal Aceh pada tahun 1360-1374 di Rumbati. Makam dan Masjid Rumbati menjadi peninggalannya. Namun informasi lain menyebut Abdul Ghafar datang ke Rumbati tahun 1502 M. Kemungkinan ini perlu ditinjau kembali, terutama dalam hal waktu masuknya Islam. Kemungkinan Abdul Ghafar datang pada abad ke 16, bersamaan dengan masa keemasan Kesultanan Ternate dan Tidore sebagai bandar jalur sutera dan meluaskan kekuasaannya dari Sulawesi hingga Papua.
Versi lain masuknya Islam di Papua adalah versi Arab. Versi ini menyebutkan Islam di Papua disebarkan oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al Qathan (Syekh Jubah Biru) dari Yaman , yang terjadi pada abad ke 16. Hal ini sesuai dengan adanya Masjid Tunasgain yang dibangun sekitar tahun 1587. Informasi lain menyebut Syekh Jubah Biru datang pada tahun 1420M.
Pendapat yang tampaknya lebih kuat mengenai masuknya Islam di Papua adalah datangnya Islam di Papua melalui Kesultanan Bacan (Maluku). Di Maluku terdapat empat Kesultanan, yaitu, Bacan, Jailolo, Ternate dan Tidore (Moloku Kie Raha atau Mamlakatul Mulukiyah). J.T. Collins, menyebutkan, berdasarkan kajian linguistik, Kesultanan Bacan adalah Kesultanan tertua di Maluku. Syiar Islam oleh Kesultanan Bacan disebarkan di wilayah Raja Ampat.
Terbentuknya Kolano Fat (Raja Ampat atau Raja Empat, dalam bahasa Melayu) di kepulauan Raja Ampat oleh Kesultanan Bacan, dapat dilihat dari nama-nama gelar di kepulauan tersebut; (1) Kaicil Patra War, bergelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi) di Pulau Waigeo, (2) Kaicil Patra War bergelar Kapas Lolo di Pulau Salawati. (3) Kaicil Patra Mustari bergelar Komalo Nagi di Misool, (4) Kaicil Boki Lima Tera bergelar Komalo Boki Sailia di Pulau Seram.Isitilah Kaicil adalah gelar anak laki-laki Sultan Maluku. Menariknya, nama Pulau Salawati menurut tutur lisan masyarakat setempat,, diambil dari kata Shalawat.
Ada beberapa nama tempat yang merupakan pemberian Sultan Bacan. Seperti Pulau Saunek Mounde (buang sauh di depan), Teminanbuan (tebing dan air terbuang), War Samdin (air sembahyang). War Zum-zum (penguasa atas sumur) dan lainnya. Nama-nama tersebut merupakan bukti-bukti peninggalan nama-nama tempat dan keturunan Raja Bacan yang menjadi Raja-raja Islam di Kepulauan Raja Ampat. Kemungkinan Kesultanan Bacan menyebarkan Islam di Papua sekitar pertengahan abad ke 15 dan kemudian abad ke 16, terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil di Kepulauan Raja Ampat, setelah para pemimpin-pemimpin Papua di Kepulauan tersebut mengunjungi Kesultanan Bacan tahun 1596.
Pendapat ini didukung pula oleh catatan sejarah Kesultanan Tidore ‘Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Malige’, yang menyebutkan Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) melakukan ekspedisi ke Papua dengan satu armada kora-kora. Ekspedisi ini menyusuri Pulau Waieo, Batanta, Salawati, Misool di Kepulauan Raja Ampat. Di wilayah Misool, Sultan Ibnu Mansur yang sering disebut Sultan Papua I, mengangkat Kaicil Patra War, putra Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi. Kacili Patra War kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur, yaitu Boki Thayyibah. Dari penikahan inilah Kesultanan Tidore memperluas pengaruhnya hingga ke Raja Ampat bahkan hingga Biak. (sumber)
0 Komentar